Arab Saudi Bungkam Suporter, Kebebasan Berekspresi Terancam
Arab Saudi Bungkam Suporter, Kebebasan Berekspresi Terancam. Hukuman penjara yang dijatuhkan kepada 12 penggemar sepak bola di Arab Saudi telah memicu kekhawatiran global mengenai kebebasan berekspresi di negara tersebut. Human Rights Watch mendesak pemerintah Arab Saudi untuk segera membebaskan para penggemar ini dan menjamin hak-hak mereka untuk bersuara. Tindakan represif ini adalah tamparan keras bagi kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia di negara tersebut.
Polisi Saudi memanggil dan menangkap para penggemar setelah video mereka melantunkan lagu religi Syiah selama pertandingan diunggah dan tersebar di media sosial. MPOID
Jatuhan Pidana dan Denda
Pengadilan Pidana Saudi di Dammam menjatuhkan hukuman penjara satu tahun dengan denda 10.000 Riyal Saudi (sekitar US$2.666) kepada dua penggemar dan satu penggemar lainnya satu tahun penjara dengan masa percobaan enam bulan dan denda 5.000 Riyal Saudi (sekitar $1.333).
Keputusan FIFA untuk memberikan hak tuan rumah Piala Dunia 2034 kepada Arab Saudi semakin dipertanyakan. Kasus penahanan para penggemar ini menunjukkan bahwa negara tersebut belum siap menjadi tuan rumah ajang sebesar Piala Dunia, mengingat rekam jejaknya dalam hal pelanggaran HAM.
Kedua belas penggemar sepak bola tersebut menghadapi dua dakwaan utama. Pertama, mereka dituduh mengirimkan konten yang dapat mengganggu ketertiban umum melalui internet dan perangkat elektronik.
Dakwaan kedua adalah tuduhan lebih serius, yaitu merusak ketertiban umum dengan menyebarkan konten sektarian yang memicu pertikaian sosial. Tindakan mereka ini dianggap melanggar Pasal 6 Undang-Undang Kejahatan Dunia Maya yang mengancam hukuman hingga 5 tahun penjara dan denda sebesar 3 juta Riyal Saudi. MPOID
Nyanyian Syiah Picu Penangkapan
Saat pertandingan antara Al Safa dan Al Bukiryah di Provinsi Timur Arab Saudi, sekelompok penggemar Al Safa secara damai menyanyikan lagu keagamaan Syiah untuk merayakan kelahiran Imam Ali. Namun, tindakan mereka ini justru berujung pada masalah hukum karena diskriminasi terhadap minoritas Syiah di Arab Saudi masih sangat tinggi.
Kasus penangkapan dan penahanan 12 penggemar sepak bola di Qatif akibat menyanyikan lagu keagamaan Syiah merupakan contoh nyata pelanggaran hak asasi manusia di Arab Saudi. Penggunaan pasal 6 undang-undang kejahatan dunia maya yang kejam untuk menjerat para penggemar ini semakin menguatkan dugaan adanya diskriminasi sistematis terhadap minoritas Syiah.
Tindakan represif seperti ini tidak hanya melanggar kebebasan beragama dan berekspresi, tetapi juga menciptakan rasa takut dan ketidakamanan di kalangan masyarakat, terutama bagi mereka yang berbeda pendapat dengan pemerintah.
Pemanfaatan pasal 6 undang-undang kejahatan dunia maya tahun 2007 dalam kasus ini sekali lagi mengungkap betapa kaburnya definisi “kejahatan dunia maya” di Arab Saudi. Kasus ini menunjukkan bagaimana undang-undang yang seharusnya melindungi masyarakat justru digunakan untuk membatasi kebebasan dan menindas kelompok minoritas.
Dewan Direksi Al Safa Dicopot, Disiplin Olahraga Ditegakkan
Kementerian Olahraga Arab Saudi telah mengambil tindakan tegas dengan membubarkan Dewan Direksi Klub Al Safa. Keputusan ini diambil berdasarkan pelanggaran klub terhadap peraturan dasar negara yang mengatur operasional klub olahraga. Pelanggaran tersebut dinilai telah menyimpang dari norma ketertiban umum dan moralitas yang berlaku.
Sebagai tindak lanjut, Kementerian telah menunjuk Ahmed Mohamed al-Sada untuk mengelola klub sementara waktu. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah Arab Saudi dalam menegakkan aturan dan menjaga citra positif dunia olahraga di negara tersebut.
Laporan Human Rights Watch telah mengungkap adanya kontradiksi dalam kebijakan pemerintah Saudi terhadap minoritas Syiah. Di satu sisi, Putra Mahkota Mohammad bin Salman berupaya menunjukkan moderasi dengan melakukan reformasi pendidikan dan melemahkan pengaruh kelompok-kelompok radikal. Arab Saudi Bungkam Suporter
Di sisi lain, pelanggaran HAM terhadap warga Syiah, seperti pembatasan kebebasan beragama dan diskriminasi sistematis, masih terus terjadi. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara retorika reformasi dan realitas di lapangan. MPOID